Wednesday, September 19, 2018

Tes CPNS Sekali Tembus



Informasi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) tahun 2018 ini sudah mulai masif menyebar, terutama di media sosial. Saya punya pengalaman lulus CNPS tahun 2014 silam yang mudah-mudahan bila teman-teman atau saudara berkeinginan menjadi seorang PNS/ ASN, tulisan ini dapat bermanfaat.

Sejak lulus S1 tahun 2009, saya tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang PNS. Namun, orang tua saya, terutama Ibu selalu membujuk saya agar saya mengikuti tes CPNS. Setiap Ibu meminta, setiap itu pula saya menolak dengan menjawab bahwa rezeki itu bukan hanya untuk PNS, apa pun profesi kita Allah akan mencukupkan rezeki kita. Saya mencontohkan bahwa ayah saya yang lulusan SD pun, dengan izin Allah, dapat akhirnya menyekolahkan saya hingga ke tingkat S2. Saya menyampaikan bahwa beasiswa yang saya terima ketika S1, S2 dan beasiswa ke Amerika Serikat dulu adalah beberapa karunia Allah bagi saya dan keluarga. Jadi, rezeki itu sudah Allah atur dengan sempurna. Saya sadar dan paham bahwa dengan keterbatasan pendidikan dan eksposur profesi orang tua saya, mungkin profesi PNS adalah yang ‘terbaik’ di mata mereka. Atau mereka memiliki anggapan bahwa saya cocoknya memang menjadi seorang PNS. Saya hanya menebak-nebak saja.

Tahun 2014 ketika saya sudah memiliki anak dan istri, Ibu meminta saya lagi untuk ikut tes CPNS, beliau bilang, “Ikutan tes sekaliii saja, kan tidak ada ruginya”. Saya pun berpikir, oh iya juga ya, ini kan hanya tes dan saya sudah cukup terbiasa dengan yang namanya tes, baik itu lolos mau pun gagal. Apapun hasilnya ya biasa saja. Paling tidak, saya sudah pernah mencoba tes CPNS dalam hidup saya dan turut serta memeriahkan ‘perhelatan’ yang cukup ditunggu-tunggu para job seekers atau pun mereka yang sudah bekerja namun masih tertarik menjadi PNS.

Tes CPNS tahun 2014 memang tidak seribet tahun-tahun sebelumnya karena kita tidak perlu mengurus SKCK, kartu kuning atau semacamnya di awal-awal. SKCK diperlukan jika kita sudah dinyatakan lulus. Menurut teman-teman saya, prosedur atau syarat CPNS kali ini (tahun 2014) jauh lebih sederhana. Ya cukup revolusioner lah dengan adanya CAT (Computer Assisted Test) sehingga kita dapat mengetahui skor kita secara langsung dan apakah kita lolos standar minimal (passing grade) di formasi yang kita ‘buru’.

Singkat cerita, saya pun mendaftar secara daring dengan bantuan dan arahan istri tercinta. Peserta yang lolos syarat administrasi diminta untuk mengikut tes CAT yang tempat tesnya kita tentukan sendiri. Saya dan dua orang teman S2 saya bertemu untuk belajar atau melakukan simulasi tes CPNS. Salah satu teman saya telah memiliki software CAT  CPNS yang dibelinya secara daring seharga seratus ribuan. Teman saya itu baiiik sekali, dia tidak mau patungan beli software padahal kami bertiga yang memakai software-nya. Kami juga berdiskusi mengenai sasaran kami masing-masing yang semuanya menyasar lowongan dosen di PTN. Waktu itu kalau kita ingin jadi dosen di perguruan tinggi negeri, minimal kita harus punya ijazah S2, kalau sekarang sudah harus S3 (doktor). Saya sendiri memutuskan untuk memilih formasi dosen di Universitas Padjadjaran, khususnya di Departemen Manajemen dan Bisnis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Tiba saatnya untuk tes CAT. Ya, tesnya menggunakan komputer yang terkoneksi internet. Tempat tes CAT saya di Universitas Pendidikan Indonesia, tepatnya di lantai dasar gedung UPINet. Bagi saya tempat itu cukup familiar karena S1 saya memang di UPI. Alhamdulillah, tes CAT dilalui dengan lancar, dan di monitor luar ruangan tes, terpampang nama saya sebagai peserta yang lolos passing grade untuk menjadi dosen Unpad.

Langkah selanjutnya adalah menyiapkan diri untuk Tes Kemampuan Bidang (TKB) yang akan diselenggarakan beberapa hari kemudian di kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unpad.
TKB terdiri dari pertanyaan-pertanyaan terkait bidang saya yaitu ekonomi dan manajemen. Berbekal dua tahun pengalaman sebagai guru ekonomi di SMA Daarul Quran (part-timer saat saya kuliah S2), satu semester sebagai dosen percobaan di Untirta Serang, dan satu tahun sebagai dosen di STIESA Subang, saya sedikit memiliki kepercayaan diri, toh memang sehari-hari saya bergelut dengan bidang ilmu manajemen dan ekonomi. Tes TKB ini pun Alhamdulillah dilalui dengan cukup lancar, soal-soalnya terdiri basic accounting, ilmu ekonomi, dan manajemen.

Hari esoknya, saya harus mengikuti tes yang paling ditunggu-tunggu yaitu microteaching dan wawancara dengan dekanat. Sebelum mengikuti tes hari kedua ini, saya sempat bertanya kepada kawan saya yang dulu pernah ikutan tes CPNS di FEB Unpad juga. Beliau belum ditakdirkan Allah menjadi dosen Unpad, melainkan dosen di kampus lain. Teman saya menyampaikan bahwa microteaching dan wawancara dilaksanakan menggunakan bahasa Inggris. Saya pun menyiapkan bahan ajar dalam bahasa Inggris yang terdiri beberapa slides Power Point. Sebelumnya saya juga menyempatkan latihan dulu di rumah, istri saya berperan sebagai pewawancara yang menanyai saya ini dan itu, berbobot juga pertanyaan-pertanyaan yang istri ajukan, saya jadi merasa lebih siap. Istri juga memberi masukan perihal microteaching yang akan saya sampaikan.

Di hari tes microteaching, saya mendapat urutan ke-dua. Ketika nama saya dipanggil, saya pun bergegas masuk ke ruangan tes membawa netbook istri saya. Maklum, laptop pertama saya yang dibeli 550 USD telah dijual ke konter laptop yang menerima laptop rusak dengan harga 600 ribu saja.

Selain menggunakan slides, saya juga menyiapkan spidol yang akan digunakan menulis di papan tulis. Saya pikir kalau slides di PPT saja akan membosankan, maka saya variasikan dengan corat-coret dan gambar sana sini di papan tulis. Pewawancara saya waktu itu ada enam orang terdiri dari empat orang professor dan dua dosen bergelar doktor. Keenamnya adalah guru sekaligus kolega saya saat ini.
Saat microteaching, para pewawancara saya pun banyak bertanya, baik terkait isi yang saya presentasikan mau pun motivasi saya menjadi dosen Unpad. Alhamdulillah, semua pertanyaan mereka pun dapat saya jawab dengan cukup lancar.
Setelah selesai microteaching, saya berpindah ruangan untuk mengikuti sesi wawancara dengan dekanat (dekan dan wakil dekan I dan II). Di ruangan yang lebih kecil dari sesi tadi, saya ditanyai juga mengenai motivasi menjadi dosen secara umum dan dosen Unpad secara khusus. Namun, proporsinya tidak sebanyak di sesi microteaching. Pada wawancara dengan dekanat ini, saya juga diminta menunjukan beberapa berkas asli seperti ijazah S1 dan S2. Pewawancara juga menanyai pengalaman saya dalam dunia pendidikan tinggi yang dibuktikan dengan sertifikat dan artikel jurnal. Untungnya, saya membawa beberapa sertifikat dan copy jurnal yang dipublikasikan saat saya lulus S1, sehingga minimalnya saya dapat menunjukan apa yang diminta. Sesi ini berlangsung lebih singkat dan saya pun langsung pulang ke rumah.

Serangkaian proses tersebut alhamdulillah membuahkan hasil. Sekitar bulan Februari 2015, saya dan tujuh orang peserta lainnya dinyatakan lulus tes CPNS sebagai dosen FEB Unpad. Total peserta yang diwawancara di FEB waktu itu sekitar 15 orang, atau sekitar setengahnya yang tidak lulus sesi microtaeching dan wawancara.

Dari proses yang saya lalui di atas, ada beberapa hal yang saya coba ambil hikmahnya.
Pertama, ridho dari orang tua terutama Ibu adalah hal terpenting dalam setiap perseleksian. Jika Ibu melarang atau tidak setuju, kemungkinan besar kita akan gagal. Dulu, saya pun pernah gagal beasiswa ADS (Australian Development Scholarhsip) karena ibu saya tidak setuju (selain faktor dari saya sendiri yang mungkin kurang pas dengan kriteria ADS). Maka, akan lebih baik jika kita meminta ridho dan doa Ibu saat kita hendak mengikuti testing atau seleksi apa pun.

Ke-dua, cari informasi sebanyak-banyaknya terkait formasi atau instansi yang kita target. Informasi bisa kita gali dari orang yang sudah lulus seleksi di tempat tersebut atau dari orang yang sudah pernah ‘ditolak’. Sumber-sumber lain seperti blog mungkin juga dapat menjadi alternatif informasi, namun kalau saya lebih memilih banyak bertanya langsung ke orang.

Ke-tiga, persiapkan hal-hal penting, a good planning is half of success. Saya kira semua pembaca tentu setuju dengan poin ini. Namun, kita perlu upayakan bahwa persiapan itu harus melebihi standar minimal. Jika orang lain diperkirakan akan mempersiapkan 100, kita sebaiknya mempersiapkan lebih dari itu, misalnya 150. Prinsip ini saya dapatkan dari istri dan ibu saya. Ibu saya berprinsip ‘ulah ridu ku tanduk’, artinya jangan merasa terbebani dengan logistik atau perlengkapan yang cukup karena itu dapat menjadi ‘senjata’ kita saat dibutuhkan.

Ke-empat adalah tawakal. Kalau sudah ikhtiar ya sudah bersiap ridha dengan keputusan Allah. Hidup mah tidak boleh baperan. Dalam hidup kita hanya berbagi peran. Ada yang jadi A dan ada yang jadi B. Mulia dan tidaknya kita tidak ditentukan 100% oleh jenis profesi, melainkan oleh kontribusi dan amal baik kita pada manusia, lingkungan dan makhluk Allah lainnya. Apapun profesi kita, kita punya tanggung jawab menjalankan amanah sebagai manusia yang bermanfaat.

No comments: